Senin, 22 Maret 2010

PERMASALAHAN DALAM PERNIKAHAN DAN PESTA PERNIKAHAN

• Akad Nikah Bagi Tuna Wicara
Tata cara akad nikah bagi orang normal adalah sebagaimana biasanya yang telah kita ketahui bersama, namun tata cara akad nikah bagi tuna wicara (orang bisu) adalah cukup dengan mengunakan isyarah saja sudah sah. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah sebagai berikut:
(قَوْلُهُ وَيَنْعَقِدُ) اَيْ النِّكَاحُ وَقَوْلُهُ بِإِشَارَةٍ اَخْرَسَ مُفْهِمَةٌ عِبَارَةُ التُّحْفَةِ وَيَنْعَقِدُ نِكَاحُ اْلأَخْرَسَ بِإِشَارَتِهِ الَّتِى لاَ يَخْتَصُّ بِفَهْمِهَا الْفَطَنُ وَكَذَا بِكِتَابَتِهِ بِلاَ خِلاَفٍ عَلَى مَا فِي الْمَجْمُوْعِ لَكِنَّهُ مُعْتَرِضٌ بِاَنَّهُ يُرَى اَنَّهَا فِي الطَّلاَقِ كِناَبَةٌ وَالْقُعُوْدِ اغْلَظَ مِنَ الْحُلُوْلِ فَكَْفَ يَصِحُّ النِّكَاحُ بِهَا فَضْلاً عَنْ كَوْنِهِ بِلاَ خِلاَفٍ وَقَدْ يُجَابُ بِحَمْلِ عَلاَمِهِ عَلَى مَا اِذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ إِشَارَةٌ مُفْهِمَةٌ وَتُوَذِّرُ تَوْكِيْلِهِ لا لِلضْطِرَارِهِ حِيْنَئِذٍ وَيُلْحِقَ بِكِتَابَتِهِ فِي ذَلِكَ إِشَارَتُهُ الَّتِى يَخْتَصُّ بِفَهْمِهَا الْفَطَنُ .......... (اعانة الطالبين جز: 3: 277)
Akad nikah dihukumi sah dengan menggunakan isyarah yang memahamkan bagi orang bisu, itu terdapat di dalam kitab Tuhfah. Nikahnya orang bisu itu dihukumi sah dengan menggunakan isyarah yang memahamkan, tidak ditentukan hanya orang yang pandai memahami isyaroh tersebut.
”Juga sah nikahnya orang yang bisu itu dengan tulisannya, pendapat ini tidak ada khilaf, (keterangan kitab majmu’), namun ada sebagian golongan yang menentang pendapat ini karena sesungguhnya isyarah di dalam talak itu kinayah bukan sarih, akad nikah itu lebih berat dibandingkan talak, bagaimana nikah itu di hukumi sah dengan isyaroh tanpa ada khilaf.
Dengan menyamakan pendapat kyai mushonnif ketika orang bisu itu tidak punya isyarah yang memahamkan dan sulit mewalikan (dhorurot) maka isyarah orang bisu itu disamakan dengan tulisannya.
• Hukum atau Status budaya kado pernikahan (amplop “buwuhan”)
Di sebagian masyarakat terbangun suatu tradisi yang menarik saat menyelenggarakan walimah kemanten, khitanan atau ulang tahun, yang mana para tetangga atau sahabat dan handai taulan mendatangi undangan acara tersebut dengan membawa dan memberikan kado atau uang “buwuhan” (istilah jawa) kepada kemanten atau penyelenggara. Bagaimanakah tradisi buwuhan yang terjadi di masyarakat dilihat dari aspek hukum agama?
Dalam hal ini ulama terjadi perbedaan pendapat:
a. Hadiah, kado atau “buwuhan” statusnya sebagai Hibah.
b. Hadiah, kado atau “buwuhan” statusnya sebagai Hutang.

عِبَارَةُ التُّحْفَةِ وَالَّذِى يَتَّجِهُ فِي النُّقُوْطِ الْمُعْتَادِ فِي اْلاَفْرَاحِ أَنَّهُ هِبَةٌ وَلاَ أَثَرٌ لِلْعُرْفِ فِيْهِ لاِضْطِرَارِ بِهِ مَالَمْ يَقُلْ خُذْهُ مَثَلاًَ وَيَنْوِى الْقَرْضَ وَيَصْدِقُ فِي نِيَةِ ذَلِكَ هُوَ أَوْوَارِثُهُ وَعَلَى هَذَا يَحْمِلُ إِطْلاَقُ جَمْعٍ أَنَّهُ قَرْضٌ أَىْ حُكْمًا ثُمَّ رَأَيْتُ بَعْضَهُمْ لِمَا نَقُلْ قَوْلَ هَؤُلاَءِ. وَقَوْلُ الْبَلْقِيْنِى أَنَّهُ هِبَةٌ قَالَ وَيَحْمِلُ اْلأَوَّلِ عَلَى مَا اْعتَمَدَ الرُّجُوْع بِهِ وَالثَّانِى عَلَى مَالَمْ يَعْتَدُّ قَالَ ِلإِخْتِلاَفِهِ بِأَحْوَالِ النَّاسِ وَالْبِلاَدِ إهـــ وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ مَحَلُّهُ إِذَا دَفَعَ لِصَاحِبِ الْفَرَحِ فِي يَدِهِ فَإِنَّ دَفْعَ لِلِخَاتِنِ فَلاَرُجُوْعَ وَفِي حَاشِيَةِ الْبُجَيْرَمِى عَلَى شَرْحِ الْمِنْهَاجِ وَالَّذِيْ تَحَرَّرَ مِنْ كَلاَمِ الرَّمْلِى وَابْنِ حِجْرِ وَحَوَاشِيْهِمَا أَنَّهُ لاَرُجُوْعَ فِي النُّقُوْطِ الْمُعْتَادِ فِي اْلأَفْرَاحِ أى لاَيَرْجِعُ بِهِ مَالِكُهُ إِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ صَاحِبِ الْفَرَحِ أَوْيَدِ مَأْذُوْنِهِ إِلاَّ بِشُرُوْطٍ ثَلاَثَةٍ أَنْ َيأَتْىِ بِلَفْظِ كَخُذْ وَنَحْوِهِ وَأَنْ يَنْوِى الرُّجُوْعَ وَيَصْدِقُ هُوَ أَوْ وَارِثُهُ فِيْهَا وَأَنْ يَعْتَادَ الرُّجُوْعَ فِيْهِ وَإِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ الْمُزَيَّنِ وَنُحُوهُ أَوْ فِي الطَّاسَةِ الْمَعْرُوْفَةِ لاَيَرْجِعُ إِلاَّ بِشَرْطَيْنِ إِذَنْ صَاحَبُ الْفَرَحِ وَشَرْطِ الرُّجُوْعِ كَمَا حَقَّقَّه شَيْخُنَا ح ف إهـــ (اعانة الطالبين ج 3 ص 51)

Artinya: adapun ungkapan yang terdapat dalam kitab tuhfah yaitu: pendapat yang dianggap kuat tentang hadiah perkawinan (kado/uang) yaitu sebagai hibah (pemberian), keumuman masyarakat menghutangi dan tidak mengatakan “Ambillah”. Atas dasar( menghutangi atau mengatakan ambillah) golongan ulama memutlakkan sebagai hutang, kemudian saya melihat sebagian ulama yang lain seperti Imam Bulqini berpendapat sebagai Hibah (Pemberian). Dan mereka juga berkata, bisa diarahkan ke hutang apabila adatnya hadiah dikembalikan lagi, dan diarahkan ke hibah ketika adatnya tidak dikembalikan.
(I’anah At-Thalibin, Juz 3 hal 51.)

Penjelasan:
 Status Hadiah, kado atau “buwuhan” sebagai hibah bilamana si Pemberi Hadiah, kado atau “buwuhan” tidak berniat untuk menghutangi kepada penyelenggara walimah.
 Status Hadiah, kado atau “buwuhan” sebagai hutang, bilamana si Pemberi menyerahkan kepada yang di hiasi (Seperti penganten) atau ditempat yang disediakan dan terjadi adat kebiasaan uang Hadiah, kado atau “buwuhan” dikembalikan lagi.

• Hukum atau status Jihaz (cincin tunangan dan sejenisnya)
Dalam menjalin hubungan pra nikah saat meminang seseorang wanita di sebagian masyarakat terjadi tradisi yaitu laki-laki menyerahkan harta misalnya cincin atau sejenisnya. Yang disebut Jihaz (pengikat).
Bagaimanakah status cincin atau sejenisnya itu
a. Status harta Jihaz sebagai hadiah
b. Status harta Jihaz sebagai mas kawin
Al-Fatawi al-Kubro, Juz 4 hal 111 ;

(وسئل) عَمَّنْ خَطَبَ إِمْرَأَةٌ فَأَجَابُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ شَيْئًا مِنٍ الْماَلِ يُسَمَّى الْجِهَازُ هَلْ تَمْلِكُهُ الْمَخْطُوْبة أَوْلاَ بَيَّنُوْا لَنَا ذَلِكَ (فأجاب) بِأَنَّ الْعِبَرَةَ نِيَّةُ الْخَاطِبِ الدَّافِعِ فَإِنَّ دَفْعَ بِنِيَّةِ الْهَدِيَّةِ مَلَكَتُْهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ بِنِيَّةِ إِحْسَانُهُ مِنَ الْمَهْرِ حَسِبَ مِنْهُ. وَإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ أَوْبِنِيَّةِ الرُّجُوْعِ بِهِ َعَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَحْصُلْ زَوَّاجٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ لَمْ تَمْلِكِهِ وَيَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا (الفتاوى الكبرى 4/111)

“Ditanyakan” tentang seorang laki-laki yang melamar wanita lain (keluarganya) menerima kemudian laki-laki tersebut memberikan kepada mereka sesuatu harta yang dinamakan dengan jihaz (pengikat) apakah wanita yang dipinang tersebut berhak memilikinya? Jawab ”Sesungguhnya yang dijadikan pedoman adalah dari si pelamar tersebut, jika dia berniat memberikannya sebagai hadiah maka wanita pinanganya berhak memilikinya, namun jika niatnya sebagai nilai dari maskawin maka akan dianggap sebagai maskawin untuk wanita yang dipinang. Jika pelamar berniat sebagai maskawin atau tidak ada niat sama sekali, jika perkawinan gagal dan si pemberi jihaz berniat menarik kembali pemberiannya maka si perempuan itu tidak bisa memilikinya dan barang itu harus dikembalikan”.
Kesimpulan :
 Apabila si pemberi jihaz ketika memberikan jihaz berniat atau bertujuan sebagai hadiah maka wanita yang dipinang berhak untuk memiliki harta tersebut.
 Apabila tujuan si pemberi jihaz sebagai nilai dari maskawin maka dianggap sebagai maskawin dan wanita berhak memilikinya, tetapi si pemberi Jihaz (pelamar) juga boleh menariknya kembali apabila perkawinan gagal dan wanita yang dilamar harus mengembalikannya.

• Hukum menunda kehamilan atau KB
Bagaimana pandangan fiqh mengenai wanita yang melakukan dan menggunakan obat atau alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan (KB)
a. Haram, apabila obat yang diminum atau alat kontrasepsi yang digunakan menyebabkan tidak berfungsinya rahim atau telanakan
b. Makruh, apabila obat yang diminum atau alat kontrasepsi yang digunakan bersifat menunda kehamilan (tidak sampai merusak rahim).

Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Bajuri, Juz 2 hal 93 ;
وَكَذَا اِسْتِعْمَالُ اْلإِمْرَأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يَبْطِئُ الْحَبْلَ وَيَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي اْلأَوَّلِ وَيُحْرَمُ فِي الثَّنِي وَعِنْدَ وُجُوْدِ الضَّرُوْرَةِ فَعَلَى الْقَاعِدَةِ الْفِقَهِيَّةِ إِذَا تَعَارَضَتْ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا مُفْسِدَةً إهـــ (البجورى على فتح القريب في كتاب النكاح جزء 2 ص 93 )

Artinya: Demikian halnya wanita yang menggunakan sesuatu (seperti obat atau alat kotrasepsi) yang dapat memperlambat kehamilan, hal ini hukumnya makruh. Sedangkan apabila sampai memutus keturunan maka hukumnya haram dan ketika darurat maka sesuai dengan qaidah fiqhiyah “Ketika terjadi dua mafsadat (bahaya) maka hindari mafsadat yang lebih besar dengan melakukan mafsadat yang paling ringan”.

• Menjamak sholat di rumah ketika mengadakan hajatan (ada udzur)
Ketika di rumah menyelenggarakan hajatan seperti acara pengantin sering kali kesibukan menyita waktu banyak sehingga kadang waktu sholat tanpa disadari berlalu begitu saja.
Bolehkah menjama’ sholat ketika ada hajatan atau kerepotan yang lain?
a. Tidak boleh, menurut sebagian ulama karena sholat jama’ digunakan pada saat berpergian bukan pada saat berada di rumah.
b. Boleh saja, menurut Ibnu Sirrin, Al-Qaffal, dan abu Ishaq al-Marwazy, karena menjama’ shalat sebagai kemurahan ketika dalam kondisi sibuk dan hal itu dilakukan bukan sebagai kebiasan.

Hal ini diterangkan dalam kitab Syarah Muslim li an-Nawawi juz 5 hal 219.
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ اِلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِي الْحَاضِرِ لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لاَ يَتَّخِذُهُ عَادَةً وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سِيْرِيْن وأشهب مِنْ أَصْحِابِ مَالِك وَحَكاَهُ الْخَطَابِي عَنِ الْقَفَالِ وَالشَّاشِى الْكَبِيْرِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِى عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِى عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِر (شَرَّحَ مُسْلِمُ لِلنَّوَاوِى فِي أَخِرِ جَوَازِ الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلاَةِ ج 5 ص219 )

Artinya: sejumlah imam berpendapat tentang diperbolehkannya menjamak shalat di rumah karena ada keperluan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini pendapat Ibnu Sirin, Asyhab, pengikut Imam Malik, Al-Qoffal, Al-Syasyi, Al-Kabir dari kalangan Asy syafi’i dan Abu Ishaq Al-Marwazi dari kalangan Ahli Hadist. Pendapat ini di pilih oleh Ibnu Mundzir.

Tidak ada komentar: