Senin, 22 Maret 2010

KESAHIHAN DALIL:

Budaya Selametan 1-7 Hari, 40 Hari, 100 Hari dan Haul Bagi Orang yang Telah Meninggal

• Pengertian Selamatan atau Haul
Kata ”haul” berasal dari bahasa Arab yang berarti telah lewat atau berarti tahun. Masyarakat Jawa menyebutnya ”khol utowo selametane wong mati” (haul atau selamatan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal) yaitu: suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang Ulama (tokoh agama, kyai) atau salah satu dari anggota keluarga.
Dalil mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad SAW setiap tahun telah melakukan ziarah kubur pada syuhada’ uhud (para sahabat yang gugur waktu peperangan uhud) yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman pada setiap tahun. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidi;
عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ: كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ (رواه البيهقى)

Artinya; al-Waqidy berkata: “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdo’a: keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman. (HR. Baihaqi) (Mukhtashar Ibnu Katsir, Juz 2 hal. 279)

• Hukum Selametan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari dan Haul bagi orang yang telah meninggal
Mengenai hukum haul dan selametan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, tetapi mayoritas ulama dari empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (seperti: selametan) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal. Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama mengenai hal ini baik yang memperbolehkan maupun yang tidak memperbolehkannya. Adapun berbagai pendapat ulama madzhab beserta dalil-dalilnya adalah seperti di bawah ini;

a. Pendapat yang memperbolehkan
1. Menurut Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibn Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab hambali) dalam kitab Majmu’ Fatawa: XXIV/314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:
اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَـِانَّهُ يَنْـتَـفِعُ بِهَا بِاتِّـفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَقَدْ وَرَدَتْ بِذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ ( يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتـُلِتـَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْـفَـعُهَا اَنْ اَتَـصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ: نَـعَمْ , وَكَذٰلِكَ يَـنْـفَـعُهُ اَلْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُ ضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـْغفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ .

“Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi saw, seperti kata sa’at “Ya Rasul Allah, sesungguhnya ibuku wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya ?” maka beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”.

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa: XXIV/322 sebagai berikut ini
فَاِذَا اُهْدِيَ لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ اَوْ صَلاَةٍ اَوْ قِرَئَةٍ جَازَ ذَلِكَ
Artinya: “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.

2. Menurut Imam Nawawi
Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin ibn as-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5 hal. 258 menegaskan;
يُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْتَغْفِرُلَهُ. نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا: يُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . (المجموع جز 5 ص 258)

“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayat, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.

Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;
وَيُـسْـتَحَبُّ لِلزَّائِرِ اَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ اَهْلِ اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلاَفْضَلُ اَنْ يَكُوْنَ اَلسَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبـَتَ مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأَنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ اَلشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ. (المجموع جز 5 ص 258)

“Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad saw., dan disunahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”.

3. Menurut Imam Ibnu Qudamah
Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hanbali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal. 566.
قَالَ: وَلاَ بَأْسَ بِالْقِرَائَـةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ: اِذاَ دَخَلْتمُ ْالَـْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .

Artinya “al-Imam ibn Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal bahwasanya beliau berkata: jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.
Dan dalam kitab al-Adzkar hal 150. Dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini:
وَذَهَبَ اَحْمَدُ اْبنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اَصْحَابِ الشَّاِفـِعى اِلىَ اَنـَّهُ يَـصِلُ . فَاْلاِ خْتِـيَارُ اَنْ يَـقُوْلَ اَلْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ: اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ . وَالله ُاَعْلَمُ

Artinya: Imam Ahmad bin Hanbal dan golongan ulama dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan bahwa pahala do’a adalah sampai kepada mayit. Dan menurut pendapat yang terpilih: hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan do’a:
اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ

Artinya: Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan (mayit).

4. Menurut Fuqaha’ (Ulama ahli Fiqh) Ahlussunnah wal Jama’ah
Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ: اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .

Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda: “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdo’a “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan”, maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah SWT”.

b. Pendapat yang tidak memperbolehkan
1. Menurut golongan Madzhab Syafi’i
Pendapat masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar, hal 150.
وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ ثَوَابَ قِرَائَـةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّفِعِى وَجَمَاعَةٌ اَنَّهُ لاَيَصِلُ ,وَالله ُاَعْلَمُ.

Artinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit.

2. Menurut Imam Malik
Menurut pendapat ulama pengikut madzhab Maliki bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit. Keterangan kitab Majmu’ Fatawa, Juz XXIV hal. 314-315, yang berbunyi:
وَاَمَّاالصِّـيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَائَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهٰذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ: اَحَدُهُمَا: يَـنْـتَـفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا وَبَعْضُ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ: لاَتَصِلُ اِلَيْـهِ وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى.

Artinya: “Adapun puasa, shalat sunnah, membaca al-Qur’an ada dua pendapat salah satunya; Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain dan yang kedua; tidak sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan Syafi’i”.



• Rangkaian Acara Selametan atau Haul
1. Khotmul Qur’an, yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30). Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5 hal. 258 menegaskan;
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ. نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا: يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع:جز 5 ص 258.

Artinya; “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”. Pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan: “Sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
2. Tahlilan, Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut:
إِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ الله ُبِذٰلِكَ.
Artinya; “Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu”. (Fatawa, XXIV/323).
3. Do’a yang dihadiahkan kepada si mayit. Syeh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ulama telah sepakat mengenai do’a dan memohonkan ampunan untuk mayit sebagaimana dalil di bawah ini:
اَلدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـغْـفَارُ وَهٰذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالىَ: (وَالَّذِيْنَ جَائُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْ لَناَ وَِلأِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِاْلاِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاَّ ِللَّذِيْنَ أَمَنُوْ رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ) وَتَقَدَّمَ قَوْلُ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَاِذاَصَلَّيْتُمْ عَلىَ اْلمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْالَهُ اَلدُّعَاءَ) وَحُفِظَ مِنْ دُعَاءِ رَسُوْلِ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ (اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّـتِـنَا) وَلاَزَالَ اَلسَّلَفُ وَالْخَلَفُ يَدْعُوْنَ لِْلأَمْوَاتِ وَيَسْأَلُوْنَ لَهُمْ اَلرَّحْمَةُ وَاْلغُفْرَانُ دُوْنَ اِنْكَارٍ مِنْ اَحَدٍ.

Artinya; “Do’a dan memohonkan ampun untuk mayit, pendapat ini telah menjadi kesepakatan Ulama, hal ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 10 (Dan orang-orang yang datang setelah mereka muhajirin dan anshar berdo’a: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangan engkau jadikan hati kami “mempunyai sifat” dengki kepada orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang). Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasulullah Saw. Jika kamu menyalati mayid, maka ikhlaslah dalam berdo’a. Dan juga do’a Rasulullah saw. Ya Allah ampunilah orang-orang yang hidup dan yang meninggal kami (umat Nabi). Ulama salaf dan khalaf selalu mendo’akan orang-orang meninggal dan mereka memohonkan kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya”.
4. Pengajian Umum, yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang di-haul-i, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang patut diteladani.
5. Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah tetangga (adat jawa: ater-ater) Hal ini didasarkan pada perintah Nabi dalam kitab Durratu al-Nasihin yang berbunyi:
وَقاَلَ عَلَيْهِ الصَّلاَة ُوَالسَّلاَم ُ: (تَصَدَّقوُاْ عَنْ اَنـْفُـسِكُمْ وَعَنْ مَوْتاَكُمْ وَلَوْ بِشُرْبـَةِ مَاءٍ فَـاِنْ لَمْ تَـقْدِرُوْا عَلَى ذٰلِكَ فَـبِـاَيَةٍ مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْاشَـيْـأً مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَادْعُوْابِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَقَدْ وَعَدَ كُمْ بِاْلاِجَابَةِ).

Rasulullah Saw. bersabda: “bersedekahlah kamu sekalian untuk dirimu sendiri dan untuk ahli quburmu walau hanya dengan seteguk air, jika kamu sekalian tidak mampu bersedekah dengan seteguk air maka bersedekahlah dengan satu ayat dari kitab Allah, jika kamu tidak mengetahui/tidak mengerti sesuatu dari kitab Allah, maka berdo’alah dengan memohon ampunan dan mengharap rahmat Allah, maka sesungguhnya Allah telah berjanji akan mengabulkan”. (Durratu al-Nasihin, hal. 95).

Imam Nawawi berpendapat bahwa;
َالصَّـدَقَةُ: وَقَدْ حَكىَ اَلنَّوَوِىُّ اَلاِجْمَاعَ عَلىَ اَنَّهَا تَقَعُ عَنِ اْلمَيِّتِ وَيَصِلُهُ ثَوَبُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ وَلَدٍ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ . لِـمَا رَوَاهُ اَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا عَنْ اَبِـىْ هُرَيْرَةَ: اِنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّـبِىْ: اِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَرَكَ مَـالاً وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّـْر عَنْهُ اَنْ اَتـَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ النَّـِبىْ , نَـعَـمْ.

Imam Nawawi menceritakan; Sedekah (shadaqah) itu dapat diambil manfaatnya oleh mayit dan pahalanya pun sampai kepadanya, baik sedekah dari anaknya (keluarga) maupun selain anak (orang lain), dan ini sudah menjadi kesepakatan Ulama, karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan lainnya. Dari Abi Hurairah r.a.: Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw.: Bapak saya telah meninggal, dia meninggalkan harta dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah dapat menebus dosanya jika aku bersedekah sebagai gantinya?. Nabi menjawab: Ya, bisa.
(Peringatan Haul hal. 23-26).

Tidak ada komentar: